Materi Masalah Sosial – Edisi Materi
Umum
MASALAH SOSIAL
·
Pengertian
Masalah Sosial
Ada
beberapa pandangan para tokoh sosilogi tentang masalah sosial, antara lain:
Arnold
Rose: masalah sosial dapat didefinisikan sebagai situasi yang telah memengaruhi
sebagian besar masyarakat sehingga mereka percaya bahwa situasi itu adalah
sebab dari kesulitan mereka. Situasi itu dapat diubah.
Richard
dan Richard: masalah sosial adalah pola perilaku dan kondisi yang tidak
diinginkan dan tidak dapat diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat.
Soerjono
Soekanto: masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur
kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan sosial.
·
Perspektif
Masalah Sosial
Masalah
sosial sendiri dapat dilihat dari teori fungsionalis, teori konflik dan teori
interaksi simbolis.
Teori
Fungsionalis
Semua
bagian seperti keluarga, ekonomi, dan sekolah, mempunyai fungsinya
masing-masing dalam masyarakat. Keluarga membesarkan anak, sekolah mengajarkan
pengetahuan dan lembaga ekonomi menyediakan pekerjaan. Semua bagian dari
masyarakat ini saling bekerja sama untuk membangunan tatanan sosial yang
stabil. Jika salah satunya tida menjalankan fungsinya dengan baik, maka akan
terjadi ketidakteraturan sosial dalam bentuk masalah sosial.
Teori
Konflik
Menurut
teori konflik, masalah sosial timbul dari berbagai macam konflik sosial. Hal
yang paling penting dan umum adalah konflik kelas rasa tau kelas etnis, dan
konflik gender. Setiap koflik muncul dari ketimpangan antara yang kuat dan
lemah.
Teori
Interaksi Simbolis
Teori
ini melihat masalah sosial sebagai interaksi simbolis antara individu yang
tidak mempunyai masalah sosial dan individu yang mempunyai masalah sosial yang
mengarahkan individu yang tanpa masalah berperilaku seperti individu yang
bermasalah. Dalam teori ini ada dua pandangan yang berbeda tentang masalah
sosial. Pertama adalah teori pelabelan (labeling theory). Suatu kondisi sosial
kelompok atau masyarakat tertentu dianggap bermasalah, karena kondisi itu sudah
dicap bermasalah. Kedua yaitu konstruksionisme sosial, melihat bahwa individu
yang menginterpretasikan dunia sekitarnya secara universal.
·
Kemiskinan
sebagai Masalah Sosial
Menurut
Gilling dan Gillin, kemiskinan adalah ketika seseorang tidak dapat
mempertahankan skala hidup yang cukup tinggi untuk memberikan efisiensi fisik
dan mental untuk memungkinkan dia dan keluarganya menjalankan fungsi
sebagaimana mestinya sesuai dengan standar masyarakatnya baik karena pendapatan
yang tidak memadai atau pengeluaran yang tidak bijaksana.
Ada
beberapa hal yang menjadi penyebab kemiskinan menurut Hendry George, penyebab
utama kemiskinan adalah kepemilikan pribadi atau monopoli individu atas tanah.
Pandangan ini muncul saat kepemilikan tanah menjadi alat ukur kekayaan pribadi.
Karl Marx mengatakan bahwa kemiskinan terjadi karena eksploitasi kaum pekerja
oleh kaum kapitalis. Kemiskinan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni:
Penyakit
dan kemiskinan membentuk kemitraan yang saling membantu. Penyakit meningkatkan
kemiskinan dan kemiskinan juga meningkatkan penyakit.
Penyakit
mental membuat orang menjadi tidak mampu melakukan sesuatu. Hal inni mengurangi
pendapatan dan meningkatkan kemiskinan. Di sisi lain juga kemiskinan dapat
meningkatkan penyakit jiwa.
Kecelakaan
dapat membuat seseorang yang produktif menjadi sama sekali tidak bisa bekerja
atau mengurangi kapasitasnya.
Buta
huruf dan kemiskinan juga saling terkait. Karena buta huruf dapat membuat
seseorang menjadi miskin karena sedikit pengetahuan yang ia dapat, begitu pula
kemiskinan dapat membuat seseorang tidak bersekolah atau mendapat membaca.
Kemalasan
juga merupakan penyebab kemiskinan. Banyak kesempatan kerja namun karena
seseorang itu malas maka ia kehilangan kesempatan dan menjadi miskin.
Pemborosan
juga dapat menjadi faktor kemiskinan. Orang yang boros akan tetap miskin berapa
pun penghasilan yang mereka dapatkan.
Demoralisasi
atau penurunan karakter dan moral menyebabkan kekacauan pribadi dan akhirnya
jatuh dalam kemiskinan. Minum-minuman keras, perjudian, narkoba dan kebiasaan
negative lainnya akan menjerumuskan orang dalam jurang kemiskinan.
Sementara
itu faktor georafis yang menyebabkan kemiskinan antara lain sebagai berikut:
Iklim
dan cuaca yang kurang baik dapat menyebabkan produktivitas menurun.
Tidak
adanya sumber daya alam yang memadai. Seperti contohnya tidak ada tanah yang
subur, mineral dan air yang cukup.
Bencana
alam, seperti letusan gunung berapi, angina topan, banjir, dan gempa bumi,
menyebabkan kerusakan yang serius pada perumahan dan pertanian.
Ada
pula kemiskinan yang disebabkan oleh faktor ekonomis, antara lain:
Sebab-sebab
pertanian, seperti pupuk yang tidak cukup, perbaikan peralatan, dan mesin yang
tidak mutakhir, penyakit, tidak adanya sarana yang memadai untuk melindungi
lading dari hama dan hewan.
Distribusi
kekayaan yang tidak merata. Dalam sistem kapitalis, yang kaya terus semakin
kaya dan yang miskin makin miskin.
Depresi
ekonomi yang dapat menyebabkan penurunan dalam perdagangan, penutupan pabrik
dan pengangguran jutaan buruh.
Penganggurann
adalah penyebab utama dalam kemiskinan.
Penimbunan
kekayaan yang tidak produktif, seperti pembelian perhiasan.
Sementara
itu kemiskinan juga dapat semakin meningkat karena sebab-sebab sosial seperti
berikut ini:
Sistem
pendidikan yang kurang baik dapat menyebabkan orang yang berpendidikan
menganggur dan menjalani kemiskinan.
Perumahan
yang tidak cukup juga dapat membuat orang terpaksa tinggal di pemukiman kumuh
yang kotor dan tidak sehat. Konsekuensinya kapasitas mereka untuk bekerja
berkurang. Hal ini tentu saha mengarahkan mereka pada kemiskinan.
Imigrasi,
ini menjadi salah satu faktor peyebab kemiskinan. Kurangnya pengetahuan, dan
kemampuan membuat imigran yang berangkat dari desa kalah saing dengan orang
yang sudah memahami seluk beluk kota. Sehingga kebanyakan dari imigran menjadi
pengangguran di kota, dan menjadi beban kemiskinan bagi negara.
Penanggulangan
kemiskinan adalah kebijakan dan program pemerintahan dan pemerintah daerah yang
dilakukan secara sistematis, terencana dan bersinergi dengan dunia usaha dan
masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Seperti yang telah dicanangkan oleh presiden pada Perpres
No. 15 Tahun 2010 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan. Dengan strategi
sebagai berikut:
Ø Mengurangi beban
pengeluaran masyarakat miskin,
Ø Meningkatkan
kemampuan dan pendapat masyarakat miskin,
Ø Mengembangkan
dan menjamin keberlanjutan usaha mikro dan kecil,
Ø Menyinergikan
kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.
·
Kriminalitas
sebagai Masalah Sosial
Penyimpangan
dan kriminalitas merupakan dua hal yang berbeda. Penyimpangan merupakan
kegagalan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial dan tidak disetujui
oleh masyarakat atau kelompok sosial. Sementara itu, kriminalitas adalah salah
satu bentuk penyimpangan, khususnya, perilaku yang melanggar hukum pidana
tertentu. Tidak semua penyimpangan adalah kejahatan. Penyimpangan menjadi
kejahatan ketika lembaga masyarakat menunjuk penyimpangan itu sebagai perilaku
yang melanggar hukum atau undang-undang yang meletakkan hukuman bagi kejahatan
membentuk hukum pidana.
Beberapa
faktor yang mendorong timbulnya tindak kejahatan adalah sebagai berikut:
Ø Terjadi
perubahan sosial, ekonomi, politik, seperti perang dan bertambahnya
pengangguran.
Ø Pemerintah yang
lemah dan korup sehingga mendorong orang mancari kesempatan untuk berbuat
kejahatan.
Ø Masalah
kependudukan dan kesulitan ekonomi.
Ø Pengembangan
sikap mental yang keliru, misalnya ambisi yang berlebihan untuk menaikkan
status membuat seseorang melakukan suap.
Ø Kurang model
(teladan) dan orang yang dituakan (senior).
·
Kesenjangan Sosial-Ekonomi sebagai Masalah
Sosial
Kesenjangan
ekonomi selalu menjadi salah satu isu utama dari setiap sistem sosial.
Pertanyaan utama dari sosiologi modern adalah analisis kesenjangan sosial
terstruktur, yang sebagian besar berasal dari perbedaan wewenang atas sumber
daya ekonomi. Ekonomi selalu mengklaim bahwa kriteria untuk kebijakan ekonomi
adalah efisiensi dan pemerataan.
Secara
etimologis, kesenjangan berarti tidak seimbang, tidak simetris, atau berbeda.
Pola kesenjangan sosial dapat kita pahami dan pemahaman kita tentang berbagai
dimensi stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial merujuk pada suatu hierarki
hak-hak istimewa relative yang berdasarkan pada kekuasaan, kepemilikan, dan
prestise. Kesenjangan sosial-ekonomi mengacu pada kotras antara kondisi ekonomi
orang yang berbeda dan kelompok yang berbeda dalam masyarakat yang melaksanakan
pembangunan atau modernisasi. Sumber pedapatan, kesempatan kerja, kesempata
berusaha, dan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan. Faktor penyebabnya
antara lain:
Menurunnya
pendapatan perkapita sebagai akibat pertumbuhan penduduk yang relative tinggi
tanpa diimbangi peningkatan produktivitas.
Ketidakmerataan
pembangunan antardaerah sebagai akibat dari kebijakan politik dan
kekurangsiapan SDM.
Rendahnya
mobilitas sosial sebagai akibat sikap mental tradisional yang kurang menyukai
persaingan dan kewirausahaan.
·
Ketidakadilan sebagai Masalah Sosial
Ada
beberapa bentuk ketidakadilan. Diantaranya adalah:
Stereotip:
pemberian sifat tertentu secara subjektif terhadap seseorang berdasarkan
kategori kelompoknya. Stereotip merupakan salah satu bentuk prasangka antar ras
berdasarkan jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan komunikasi verbal maupun
nonverbal. menunjukkan perbedaan antara “kami” dengan “mereka”. Kami yang
termasuk in group dan mereka menjadi lawan in group atau out group.
Marginalisasi:
proses pemutusan hubungan kelompok-kelompok tertentu dengan lembaga sosial
utama. Seperti struktur ekonomi, pendidikan dan lembaga sosial.
Subordinasi:
pembedaan perlakuan terhadap identitas sosial. Menurut Louis Wirth, kelompok
minoritas secara eksplisit dibedakan dengan kelompok mayoritas. Anggota
kelompok mayoritas dan minoritas diperlakukan tidak seimbang. Mereka menguasai
sumber daya sehingga merasa dapat bertindak secara tidak adil, dan merasa
mempunyai martabat.
Dominasi:
Dominasi merupakan suatu kondisi yang dipahami oleh orang-orang atau kelompok
untuk sejauh bahwa mereka bergantung pada hubungan sosial dimana beberapa orang
atau kelompok lain memegang kekuasaan sewenang-wenang atas mereka.
Maryati,
Kun dan Juju Suryawati. 2014. Sosiologi Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial.
Jakarta: Esis Erlangga.(bagian masalah sosial)
Masalah Sosial Pasar – Edisi masalah
khusus
Peran Pasar Tradisional Sebagai Pondasi
Dasar Ekonomi Kerakyatan
Pasar
tradisional menjadi salah satu jantung perekonomian masyarakat. Kedudukan pasar
tradisional masih tetap penting dan menyatu dalam kehidupan masyarakat. Banyak
masyarakat yang masih membutuhkan pasar tradisional dalam mencari pendapatan
dan juga kebutuhan dalam transaksi jual beli. Pesatnya pembangunan pasar modern
dirasakan oleh banyak pihak berdampak terhadap keberadaan pasar tradisional.
Persoalan
tersebut menjadi pembahasan dalam acara Dialog "Forum Senator untuk
Rakyat" hari Minggu, 17 Mei 2015 di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta, dengan
tema "Ekonomi Kerakyatan Dalam Bingkai Nawacita". Dialog tersebut
menghadirkan Irman Gusman (Ketua DPD RI), Rahmat Gobel (Menteri Perdagangan
RI), Daniel Johan (Anggota DPR), Syahganda Nainggolan (Ketua Dewan Direktur
Sabang Merauke Circle), dan Abdullah Mansyuri (Ketua Ikatan Pedagang Pasar
Indonesia).
Irman
berpendapat bahwa untuk dapat merefleksikan ekonomi kerakyatan, pemerintahan
harus mendasarkan pada rakyat, salah satunya adalah pasar tradisional.
Keberpihakan terhadap pasar tradisional dapat menunjang pertumbuhan ekonomi
nasional. "Saat ini pertumbuhan (ekonomi) terdapat pada beberapa elite
ekonomi saja, pertumbuhan ekonomi kita hanya semu", ujar Irman saat
menjelaskan mengenai kondisi ekonomi yang kurang berpihak pada rakyat.
Irman
Gusman berpendapat bahwa, sebenarnya pondasi dari perekonomian nasional adalah
pasar tradisional. "Setelah ekonomi kolaps, di beberapa daerah tumbuh
kegiatan perekonomian dari rakyat yang berupa pasar tradisional yang memberikan
kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi", ujarnya.
Irman
menambahkan bahwa pedagang dan pasar tradisional harus benar-benar diperhatikan
oleh Pemerintah dalam membangun ekonomi kerakyatan. "Perhatian yang khusus
harus diberikan oleh pemerintah kepada pasar tradisional dalam konsep Ekonomi
Kerakyatan Nawacita, dan tugas kami di DPD RI adalah mengawasi Nawacita bisa
dilaksanakan, khususnya pada aspek pasar tradisional", ujar Irman.
Senada
dengan Irman Gusman, Abdullah juga menyatakan bahwa saat ini kehidupan pedagang
pasar tradisional sangat memprihatinkan. "Karena mereka harus membayar
berbagai iuran dan retribusi yang sangat tinggi. Uang retribusi yang dibayarkan
oleh pedagang ke Pemda, tidak dikembalikan lagi ke pasar tradisional. Hal
tersebut yang menjadi penyebab kondisi lingkungan pasar yang
memprihatinkan", ujarnya.
Selain
itu, para pedagang di pasar tradisional juga mengalami persoalan lain, salah
satunya dengan keberadaan pasar modern. Abdullah mengatakan bahwa untuk dapat
mengembalikan kondisi pasar tradisional agar menjadi vital lagi, keberadaan
pasar modern harus diatur dengan peraturan yang jelas. Mulai dari barang yang
dijual, penempatan, atau jam operasional dari pasar modern. Permasalahan lain
yang dihadapi oleh pedagang pasar tradisional adalah susahnya akses terhadap
permodalan.
Penanganan
terhadap permasalahan pasar tradisional juga berpengaruh terhadap permasalahan
kemiskinan. Keberadaan pasar tradisional memberikan wadah jual beli bagi
sebagian masyarakat Indonesia yang berprofesi sebagai petani dan nelayan. Oleh
karena itu, dengan adanya vitalisasi dari pasar tradisional, maka juga akan
memberikan keuntungan bagi para petani dan nelayan. "Indonesia akan gagal
mengatasi kemiskinan jika para petani dan nelayan tidak diperhatikan, karena
peran mereka sangat besar di Indonesia, ucap Daniel.
Daniel
juga mengungkapkan bahwa kemiskinan hanya bisa diatasi kalau Indonesia bisa
mengangkat harkat martabat dan kehidupan dari petani dan nelayan dengan
membangun desa. Semua aktivitas berawal dari desa, mulai dari petani, nelayan,
pedagang. Jumlah masyarakat yang berprofesi sebagai petani atau nelayan sangat
besar, maka jika kelompok tersebut menjadi sektor strategis dalam membangun
ekonomian nasional, maka pertumbuhan ekonomi akan tercipta.
Menanggapi
persoalan dalam permasalahan di pasar tradisional dalam konsep ekonomi
kerakyatan, Rahmat Gobel menyatakan bahwa saat ini Pemerintah sebenarnya juga
menyadari peranan dari pasar tradisional terhadap pertumbuhan perekonomian.
"Ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan kerangka nawacita adalah komitmen
dari pemerintah yang harus diwujudkan", ujar Rahmat.
Untuk
dapat menghidupkan kembali pasar sebagai aspek vital perdagangan, maka
diperlukan sebuah penataan dan manajemen yang baik. Pasar harus mampu menjadi
area transaksi perdagangan dengan manajemen yang jauh lebih lebih baik dari
sekarang. Mulai dari manajemen suplai barang agar lebih lengkap, kebersihan dan
kenyamanan, dan pasar dijadikan sebagai area yang mampu membuat masyarakat
untuk datang.
"Pemerintah
juga akan memfokuskan pada kesiapan pasar dalam menghadapi era globalisasi juga
harus diperhatikan", ujar Rahmat Gobel. Rahmat menambahkan bahwa untuk
tetap menjaga keberadaan pasar tradisional dalam kerangka nawacita adalah
dengan adanya upaya dari berbagai pihak, terutama dalam menciptakan swasbada
pangan. Mulai dari kebijakan impor, peningnkatan hasil bumi, peningkatan usaha
mikro, dan peningkatan konsumsi produk dalam negeri.
Peran
pasar sebenarnya sangat vital bagi perekonomian nasional. Selain menjadi
pondasi dasar perekonomian, pasar tradisional juga mampu digunakan untuk
memaksimalkan hasil bumi yang dikelola para petani. Tentunya saat ini
keberadaan pasar harus benar-benar diperhatikan, terutama mengenai kesiapan
dalam menyambut era globalisasi. Jika tidak, maka kedepannya pasar akan kalah
dengan keberadaan pasar modern. DPD RI sendiri telah cukup lama memberikan
perhatian mengenai keberadaan pasar tradisional sebagai pondasi perekonomian
nasional.
Bentuk
perhatian tersebut terlihat saat Irman Gusman mencanangkan gerakan nasional
belanja ke pasar tradisional di Solo pada awal tahun 2014. Gerakan tersebut
merupakan bentuk kepedulian Irman Gusman dan DPD RI karena adanya keprihatinan
dan kegelisahan pedagang pasar tradisional yang kini semakin kalah bersaing
dengan keberadaan pasar ritel modern, baik berupa mini market dan Mall yang
tumbuh subur di perkotaan dan pedesaan.
Sumber:
http://www.dpd.go.id/artikel-957-peran-pasar-tradisional-sebagai-pondasi-dasar-ekonomi-kerakyatan
MASALAH PASAR TRADISIONAL INDONESIA
LATAR
BELAKANG
Pasar
sebagai suatu bentuk pelayanan umum tempat terjadinya transaksi jual beli
barang bagi masyarakat, merupakan salah satu cerminan perekonomian dan sosial
budaya setiap komunitas di dunia ini. Seiring dengan perkembangan zaman, dari
waktu ke waktu pasar mengalami evolusi bentuk tempat dan cara pengelolaannya,
dari yang bersifat tradisional menjadi modern. Perkembangan tempat perbelanjaan
di kota-kota di dunia, baik di negara-negara Barat maupun Asia, semuanya
melalui tahapan-tahapan, mulai dari pasar tradisional, yang kemudian mengalami
proses modernisasi menjadi toserba (toko serba ada), jaringan toko, shopping
center, department store, supermarket. Proses modernisasi ini tidak terlepas
dari perubahan pola demografi, spesialisasi dan diversifikasi profesi, serta
struktur sosial ekonomi dan perubahan budaya masyarakat (West, 1994).
Pada
satu sisi keberadaan pasar-pasar modern (plaza/supermarket) tidak dapat
diabaikan seiring dengan perkembangan dan perubahan perilaku konsumtif
masyarakat, namun pada sisi lain keberadaan pasar tradisional sebagai tuntutan
masyarakat kebanyakan juga tidak bisa dipinggirkan. Situasi yang serba bertolak
belakang ini senantiasa berdampak pada terjadinya tarik menarik (trade off)
antara pasar modern dengan pasar tradisional.
Keberadaan
pasar tradisional di era modern seperti sekarang ini tidak saja masih dibutuhkan,
tetapi juga tidak dapat dipisahkan dari sistem kehidupan masyarakat Indonesia.
Kondisi ini disebabkan karena pada sebagian besar masyarakat Indonesia masih
banyak yang belum memahami manfaat dari perkembagan ilmu dan teknologi,
misalnya berbelanja melalui internet. Sampai saat ini menurut Basalah pasar
tradisional masih dominan peranannya di Indonesia dan masih sangat dibutuhkan
keberadaannya, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Menurut Geertz
di dalam pasar tradisional tekanan terpenting dalam persaingan bukanlah antara
kegigihan penjual dengan penjual lainnya, tetapi persaingan antara kegigihan
penjual dengan calon pembeli dalam melakukan proses tawar menawar
(Narwoko&Bagong, 2004 : 281) Manusia adalah mahluk homo economics yang selalu
ingin memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang
sekecil-kecilnya. Karena itu kalau membeli barang selalu akan memilih yang
manfaatnya terbesar dengan harga tertentu atau harganya termurah.
Penjual
yang ingin memperoleh harga yang inggi, barangnya tidak akan laku, karena
langsung disaingi sehingga terpaksa harus menurunkan harganya. Kebutuhan dan
keinginan pembeli yang bervariasi merupakan pedoman bagi pedagang dalam
melaksanakan usahanya. Pembeli biasanya memperlihatkan preferensi dan prioritas
barang yang berbeda-beda. Mereka pada umumnya menginginkan produk dan jasa yang
memuaskan kebutuhan mereka dengan harga yang besaing. Perbedaan-perbedaan
inilah yang menciptakan segmen pasar bagi para pembeli. Perilaku pembeli
merupakan tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha
memperoleh, menggunakan, dan menentukan produk dan jasa, termasuk dalam proses
pengambilan keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan-tindakan tersebut
(Setiadi, 2003 : 93)
Pada
umumnya setiap pembeli selalu menginginkan barang-barang yang berkualitas
tinggi dengan harga yang murah dan suasana berbelanja yang nyaman, bersih dan
tersedia berbagai fasilitas yang dibutuhkan pembeli seperti transaksi
elektronik (ATM dan kartu kredit) dan tersedianya tempat parkir yang luas.
Kesemua fasilitas tersebut tentunya terdapat di pasar modern. Memuaskan pembeli
adalah merupakan kunci sukses dalam melaksanakan bisnis perdagangan. Berbagai
tanggapan dari pelanggan perlu diterima sebagai masukan yang berguna bagai
pemgembangan suatu perdagangan, oleh karena itu pedagang dalam mencapai
tujuannya tersebut harus mengetahui apa yang diinginkan dan yang dibutuhkan
oleh pembelinya. Namun tidaklah mudah bagi pedagang untuk mengenal watak dan
prilaku dari pembelinya, karena bisa jadi apa yang diungkapkan itu bertolak
belakang dengan sebenarnya.
PENGERTIAN
PASAR DAN PASAR TRADISIONAL
Pasar
adalah salah satu dari berbagai sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial
dan infrastruktur dimana usaha menjual barang, jasa dan tenaga kerja untuk
orang-orang dengan imbalan uang. Barang dan jasa yang dijual menggunakan alat
pembayaran yang sah seperti uang fiat. Kegiatan ini merupakan bagian dari
perekonomian. Ini adalah pengaturan yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk
item pertukaran. Persaingan sangat penting dalam pasar, dan memisahkan pasar
dari perdagangan. Dua orang mungkin melakukan perdagangan, tetapi dibutuhkan
setidaknya tiga orang untuk memiliki pasar, sehingga ada persaingan pada
setidaknya satu dari dua belah pihak. Pasar bervariasi dalam ukuran, jangkauan,
skala geografis, lokasi jenis dan berbagai komunitas manusia, serta jenis
barang dan jasa yang diperdagangkan. Beberapa contoh termasuk pasar petani
lokal yang diadakan di alun-alun kota atau tempat parkir, pusat perbelanjaan
dan pusat perbelanjaan, mata uang internasional dan pasar komoditas, hukum
menciptakan pasar seperti untuk izin polusi, dan pasar ilegal seperti pasar
untuk obat-obatan terlarang.
Pasar
tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai
dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses
tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan
dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar.
Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa
ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa
dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang
lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya
terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar.
Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" antara lain adalah pasar
Beringharjo di Yogyakarta, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Semarang. Pasar
tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba bertahan menghadapi serangan
dari pasar modern.
MASALAH
PASAR TRADISIONAL
Maraknya
pembangunan pasar modern seperti hypermarket dan supermarket telah menyudutkan
pasar tradisional di kawasan perkotaan, karena menggunakan konsep penjualan
produk yang lebih lengkap dan dikelola lebih profesional. Kemunculan pasar
modern di Indonesia berawal dari pusat perbelanjaan modern Sarinah di Jakarta
pada tahun 1966 dan selanjutnya diikuti pasar-pasar modern lain (1973 dimulai
dari Sarinah Jaya, Gelael dan Hero; 1996 munculnya hypermarket Alfa, Super,
Goro dan Makro; 1997 dimulai peritel asing besar seperti Carrefour dan
Continent; 1998 munculnya minimarket secara besar-besaran oleh Alfamart dan Indomaret;
2000-an liberalisasi perdagangan besar kepada pemodal asing), serta melibatkan
pihak swasta lokal maupun asing. Pesatnya perkembangan pasar yang bermodal kuat
dan dikuasai oleh satu manajemen tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah
untuk memperkuat kebijakan penanaman modal asing.
Dampak
dari hal yang dikemukakan, menurut survei AC Nielsen pada tahun 2004 didapatkan
data bahwa pertumbuhan pasar modern 31,4% dan pasar tradisional bahkan minus
8,1%. Hal ini menunjukkan adanya masalah yang dihadapi pasar tradisional
sebagai wadah utama penjualan produk-produk kebutuhan pokok yang dihasilkan
oleh para pelaku ekonomi skala menengah kecil.
Pasar
tradisional selama ini kebanyakan terkesan kumuh, kotor, semrawut, bau dan
seterusnya yang merupakan stigma buruk yang dimilikinya. Namun demikian sampai
saat ini di kebanyakan tempat masih memiliki pengunjung atau pembeli yang masih
setia berbelanja di pasar tradisional. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
banyak juga pasar tradisional yang dalam perkembangannya menjadi sepi,
ditinggalkan oleh pengunjung atau pembelinya yang beralih ke pasar moderen.
Stigma yang melekat pada pasar tradisional
secara umum dilatarbelakangi oleh perilaku dari pedagang pasar, pengunjung atau
pembeli dan pengelola pasar. Perilaku pedagang pasar dan pengunjung dan
pengunjung atau pembeli yang negatif secara perlahan dan bertahap dapat
diperbaiki, sekalipun memerlukan waktu lama. Keterlibatan pengelola pasar dalam
perbaikan perilaku ini adalah suatu keniscayaan.
Melekatnya
stigma buruk pada pasar tradisional, seringkali mengakibatkan sebagian dari
para pengunjung mencari alternatif tempat belanja lain, di antaranya
mengalihkan tempat berbelanja ke pedagang kaki lima dan pedagang keliling yang
lebih relatif mudah dijangkau (tidak perlu masuk ke dalam pasar). Bahkan
kebanyakan para pengunjung yang tergolong di segmen berpendapatan menengah
bawah ke atas cenderung beralih ke pasar moderen, seperti pasar swalayan
(supermarket dan minimarket) yang biasanya lebih mementingkan kebersihan dan kenyamanan
sebagai dasar pertimbangan beralihnya tempat berbelanja.
Seringkali
dikesankan bahwa perilaku pedagang yang menjadi penyebab utama terjadinya
kondisi di kebanyakan pasar tradisional memiliki stigma buruk. Sebaliknya, di
lapangan di lapangan dijumpai peran pengelola pasar terutama dari kalangan
aparatur pemerintah dalam mengupayakan perbaikan perilaku pedagang pasar
tradisional masih sangat terbatas. Banyak penyebab yang melatarbelakangi
kondisi ini. Dimulai dari keterbatasn jumlah tenaga dan kemampuan (kompetensi)
individu tenaga pengelola pengelola serta keterbatasan kelembagaan (organisasi)
pengelola pasar untuk melakukan pengelolaan pasar dan pembinaan pedagang,
Selanjutnya
permasalahan yang dihadapi oleh para pengelola pasar di lapangan tidak terlepas
dari Kebijakan pimpinan daerah dan para pejabat di bawahnya (Kepala Satuan
Kerja Perangkat Daerah-SKPD) di tingkat Kabupaten atau Kota. Dari kebijakan
yang dikeluarkan dapat diketahui kepedulian mereka terhadap pasar tradisional
berserta para pedagang di dalamnya dan para Pedagang Kaki Lima (PKL). Seperti
diketahui pembiaran PKL dapat menyebabkan gangguan terhadap pasar tradsional
dan para pedagang di dalamnya, sehingga para PKL juga perlu ditata dan dibina
seperti halnya dengan pasar tradisional dan para pedagangnya.
Berikut
ini dicoba untuk menelaah permasalahan pasar tradisional yang peninjuannya
berdasarkan pejabat dan institusinya yang terkai, dimulai dari lapis (layer) di
tingkat paling atas atau pihak-pihak yang memiliki kewenangan yang paling
tinggi (pimpinan daerah), kemudian turun secara hirarkhi, berjenjang ke bawah
yakni ke pihak-pihak (Kepala SKPD dengan jajarannya) yang memilki kewenangan
dengan ruang lingkup yang lebih terbatas.
PASAR
TRADISIONAL LEBIH SEBAGAI PENGHASIL PENDAPATAN ASLI DAERAH
Kepedulian
Pimpinan Daerah dan Para Pejabat di bawahnya terhadap pasar tradisional
menentukan kebijakan dan bentuk organisasi dari instansi (SKPD) yang membidangi
pasar tradisional di daerahnya. Di beberapa daerah, pimpinan daerah meletakkan posisi
pasar semata-mata sebagai salah satu sumber utama. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
melalui retribusi yang dipungut dari para pedagang. Sehingga kebijakan yang
dikeluarkan oleh Pimpinan Daerah (Bupati/Walikota) dan Pejabat Daerah di
tingkat bawahnya (Kepala SKPD) lebih menekankan pada hal-hal yang berkaitan
dengan optimalisasi pemungutan retribusi pasar, seperti Pengaturan Pemungutan
dan Penyetoran Retribusi serta Administrasi Keuangan (pembukuan) Retribusi
semata daripada penekanan pada pembinaan pasar termasuk di dalamnya pembinaan
para pengelola pasar dan pedagang pasar. Akibat dari adanya kebijakan
optimalisasi pemungutan retribusi tersebut, maka kepada para Kepala Pasar
diberikan target-target yang untuk mencapainya pasar diusahakan sedemikian rupa
agar dapat menampung pedagang dalam jumlah sebanyak mungkin, termasuk mengisi
sebagian tempat-tempat kosong seperti tangga dan lorong-lorong pasar yang
seharusnya dibiarkan tetap kosong tanpa pedagang agar para pengunjung tetap
nyaman berlalu lalang.
Dalam
situasi di mana peran pasar lebih ditekankan sebagai salah satu penghasil PAD,
maka di beberapa daerah mendudukan pasar tradisional di bawah Dinas Pendapatan
Daerah (DINPENDA). Karena kompeteinsi utama DINPENDA adalah penghimpun PAD,
maka sudah barang tentu SKPD ini tidak memiliki kompetensi sebagai pembina
pasar tradisional. Pembinaan para pedagang pasar biasanya diserahkan kepada
dinas (SKPD) yang membidangi perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM). Model pembinaan yang melibatkan dua SKPD ini biasanya sulit
berjalan dengan baik, mengingat masalah koordinasi di antara dua SKPD tersebut.
Di sini SKPD pembina pedagang pasar ketika melakukan pembinaan harus merasuk ke
dalam unit kerja pasar tradisional yang secara keorganisasian berada di bawah
kewenangan DINPENDA. Kesulitan dalam melakukan koordinasi ini sudah menjadi
sesuatu hal yang lumrah karena kentalnya ego sektoral yang pada akhirnya
masalah ini menjadi salah satu sebab munculnya stigma buruk yang melekat pada
pasar tradisional sehingga tidak menarik untuk dikunjungi oleh masyarakat
konsumen. Sebenarnya kondisi ini berujung pada berkurangnya jumlah pedagang
yang berjualan di pasar tersebut yang pada akhirnya dapat mengurangi besarnya
retribusi yang dikumpulkan. Pembinaan pasar tradsional yang ideal adalah
mewujudkan terjadinya keseimbangan antara peran pasar sebagai penghasil PAD
dengan sebagai penyedia fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk melakukan
jual beli secara ekonomis dan mengikuti tradisi sosial budaya yang berkembang
di daerah setempat.
Dalam
praktik yang paling banyak dijumpai adalah penggabungan antara tugas pembinaan
teknis bagi pengelola dan pedagang pasar dengan penghimpunan retribusi sebagai
PAD yang ditangani oleh satu SKPD yang sering disebut dengan Dinas Pengelolaan
Pasar (DPP). Penggabungan kedua tugas ini tampaknya merupakan jalan tengah,
antara di satu sisi ekstrim yaitu meletakkan peran pasar tradisional sebagai
penyumbang PAD semata dengan di sisi lain yaitu meletakkan peran pasar
tradisional untuk menyediakan tempat bagi masyarakat pedagang dan kalangan
masyarakat konsumen dalam bertransaksi jual beli. Kebijakan pembinaan dengan
mengambil jalan tengah yang menggabungkan kedua tugas seperti ini memang tidak
sebaik jika fokus pembinaan pasar tradisional diserahkan kepada salah satu SKPD
yang memang memiliki kompetensi inti pembinaan pasar dan pedagang.
PERSAINGAN
PASAR TRADISIONAL DENGAN PKL
Pembinaan
pasar tradisional yang paling memerlukan upaya paling besar adalah pembinaan
pedagang yang berjualan di pasar tersebut. Dalam pembinaan pedagang pasar
tradisional perlu juga memperhatikan pedagang lain yang berada di sekitar pasar
tradisional, terutama pedagang kaki lima (PKL).
Berdasarkan
pengalaman empiris dan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU
(2007) terhadap para pedagang di pasar-pasar tradisional di Bandung dan
Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (JABODETABEK) diperoleh informasi
bahwa salah satu pesaing utama para pedagang di pasar-pasar tradisional adalah
para PKL. Sehingga keberadaan PKL di sekitar pasar hendaknya diperhatikan benar
agar tidak menyaingi para pedagang pasar, karena mereka banyak yang berjualan
menutupi bagian depan dan jalan masuk ke pasar yang ini menjadikan bagian luar
pasar-pasar tradisional tampak kumuh dan semrawut. Di kebanyakan pasar
tradisional, kondisi seperti ini dibiarkan terus terjadi tanpa solusi,
akibatnya para pembeli tidak perlu masuk ke dalam pasar sehingga memancing para
pedagang yang berjualan di dalam pasar berpindah ke luar meninggalkan lapaknya
yang pada akhirnya keadaan di dalam pasar kosong, sebaliknya di luar pasar
keadaannya padat seperti layaknya pasar tumpah.
Untuk
menghindari persaingan antara pedagang pasar dengan PKL, maka perlu dilakukan
penataan dengan menempatkan PKL ke lokasi yang ditentukan, di mana di tempat
yang baru PKL tidak lagi menyebabkan kekumuhan baru dan tidak menyaingi
pedagang pasar tradisional. Untuk menghindari kesulitan dalam hal koordinasi,
maka penanganan permasalahan (penataan dan pembinaan) pedagang pasar
tradisional dan PKL sudah seyogyanya dilakukan di bawah satu atap (satu SKPD).
Di kebanyakan Pemerintah Kabupaten/Kota, SKPD yang menangani pembinaan pedagang
pasar tradisional dan PKL adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) (dan Pasar). Mengingat SKPD ini tidak
saja bertugas membina pedagang, tetapi juga membina para pelaku di sektor
industri industri terutama yang berskala usaha mikro, kecil dan menengah serta
sektor koperasi, maka pembinaan pasar tradisional, pedagang pasar dan PKL hanya
ditangani oleh pejabat setingkat Eselon III (Kepala Bidang), bahkan dengan
lingkup masing-masing yang lebih sempit hanya ditangani oleh pejabat setingkat
Eselon IV. Di sini kewenangan pejabat tersebut terbatas, mengingat dalam
praktik, pengelolaan pasar tradisional banyak melibatkan kewenangan
SKPD/instansi lain, seperti di bidang perparkiran, kebersihan, keamanan dan
ketertiban, kesehatan, lingkungan hidup, perlindungan konsumen, dan
kemetrologian (tertib ukur). Demikian juga, banyak pihak yang terlibat dalam
penataan dan pembinaan PKL, seperti yang berkaitan dengan penataan
wilayah/kota, keamanan dan ketertiban, kebersihan, serta perdagangan eceran.
Penanganan
permasalahan Pedagang Pasar Tradisional dan PKL yang dirasakan paling ideal
apabila ditangani oleh Dinas Pengelolaan Pasar atau Dinas Pasar (DPP) dimana di
dalam struktur SKPD ini terdapat Bidang yang menangani Pasar Tradisional
termasuk pedagang tradisional di dalamnya dan Bidang yang khusus menangani PKL.
Di sini Kepala Bidang yang menangani Pasar Tradisional dan Kepala Bidang yang
menangani PKL dapat saling berkoordinasi dalam menangani kedua kelompok
pedagang ini di bawah kendali Kepala DPP sebagai koordinator, sehingga kedua
pedagang pasar tradisional tidak diganggu oleh keberadaan PKL dan kemudian PKL
sedikit demi sedikit diarahkan menjadi pedagang pasar tradisional.
Ada
pula daerah yang tidak menjadikan PKL sebagai para pedagang yang harus dibina,
sehingga dapat diaktakan bahawa keberadaannya sama sekali tidak dikehendaki
oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Di sini Satuan Polisi Pamong Praja
(SATPOL PP) diwajibkan menertibkan PKL dan sekaligus melakukan pembinaan dalam
hubungannya dengan kemudahan untuk penertiban, bukan pembinaan yang berkaitan
dengan pembinaan kegiatan usaha di lokasi tetap. Di sini PKL selalu dianggap
menjadi masalah tanpa memperhatikan bahwa keberadaannya selain dibutuhkan
masyarakat konsumen juga menjadi tempat penampungan pekerja informal, karena
keterbatasan daya tampung lapangan kerja formal di daerah yang bersangkutan.
Sudah barang tentu, pengerahan SATPOL PP dalam penertiban PKL tidak serta merta
persaingan antara Pasar Tradisional dengan PKL dapat terselesaikan, karena
proses penertiban hanya menghasilkan ketertiban PKL yang semu (melarang PKL
berdagang di suatu tempat) dan berjangka pendek, di lain pihak umumnya jumlah
PKL akan bertambah terus dan membutuhkan tempat berdagang yang semakin luas.
PEMBINAAN
PASAR TRADISIONAL
Pemahaman
tentang aktivitas pengelolaan pasar dan perdagangan eceran (ritel) mutlak harus
dimiliki oleh aparatur dinas yang ditugasi membinan pasar tradisional termasuk
di dalamnya pedagang pasar. Dalam merancang kebijakan pemerintah kabupaten/kota
yang diterbitkan dalam Peraturan Daerah (PERDA) serta peraturan dan pedoman
pelaksanaan harus didasarkan atas pemahaman tentang pengelolaan (manajemen)
pasar dan perdagangan eceran (ritel). Selanjutnya dalam pelaksanaan peraturan
dan pedoman pelaksanaan tersebut seyogyanya para aparatur pelaksana mulai di
tingkat SKPD (dinas yang membidangi pasar) hingga di tingkat pengelola pasar
seyogyanya juga memahami hal-hal yang mendasar tentang pengelolaan pasar dan
perdagangan eceran. Tentunya tingkat pemahaman yang seyogyanya harus dimiliki
oleh masing-masing aparatur tersebut berbeda-beda tergantung pada posisi dan
sifat tugas aparatur yang bersangkutan.
Agar
para aparatur dapat melaksanakan peraturan dan pedoman tersebut dengan baik,
maka sebelumnya kepada mereka diberikan pelatihan secara berjenjang tentang
pengelolaan pasar dan perdagangan eceran. Selanjutnya kepada para aparatur yang
telah dilatih, kepada mereka diberikan kesempatan untuk bekerja di
bidang-bidang sesuai dengan pengetahuan yang telah diperolehnya sampai waktu
yang dirasakan cukup untuk dapat menerapkan pengetahuan tersebut dan diharapkan
pengelolaan pasar dan pedagang pasar dapat beraktivitas mengikuti peraturan dan
pedoman dengan tertib dan konsisten serta berkesinambungan.
Perdagangan
eceran (ritel) merupakan salah satu bagian dari disiplin ilmu pemasaran yang
seringkali kurang dipahami oleh aparatur dari SKPD yang membidangi perdagangan
dan pasar, termasuk di dalamnya pasar moderen dan pasar tradisional serta
perdagangan eceran. Dalam praktik banyak dijumpai dalam praktik para aparatur
yang bekerja di bidang ini tidak memahami tentang pengetahuan dasar pemasaran
yang sebenarnya sangat diperlukan ketika mereka bekerja. Sehingga banyak
kebijakan, peraturan pelaksanaan, pedoman, petunjuk operasi sebagai upaya
pembinaan pasar tradisional serta pedagang pasar dan PKL di mana para aparatur
tersebut terlibat penyiapan dan pelaksanaannya, tidak dapat dilaksanakan dengan
optimal. Akibatnya, banyak pasar-pasar tradisional berstigma negatif seperti
kumuh, kotor, semrawut, bau, sampah berceceran di mana-mana dan seterusnya.
Dalam
merancang kebijakan pembinaan pedagang tradisional dan PKL dalam bentuk
penguatan daya saing di satu sisi dan menghambat beroperasinya pasar moderen
sampai pada suatu saat pasar tradisional mampu bersaing di sisi lain,
diperlukan pemahaman tentang ilmu pemasaran (marketing) merupakan hal mutlak di
samping ilmu sosial lain yang terkait.
Pertimbangan
lokasi pasar dan kawasan penempatan PKL misalnya, perlu didasari oleh kebijakan
tentang pengaturan pendirian pasar moderen serta kebijakan tentang revitalisasi
pasar tradisional dan relokasi PKL ke lokasi yang ditetapkan. lokasi adalah
salah satu unsur "P" (Place) dalam "bauran pemasaran"
(marketing mix) yang dikenal dengan "Empat P" (Product, Place, Price
dan Promotion).
Para
pedagang perlu mengetahui ilmu tentang dasar-dasar promosi khususnya mendisplai
barang dagangan agar mereka mampu menata dagangan yang menarik calon pembeli,
seperti menempatkan produk-produk tertentu sedemikian rupa agar Perlu diketahui
bahwa kebanyakan para pengunjung pasar, ketika membeli barang terutama
barang-barang sekunder, seperti pakaian dan tas, untuk berbagai camilan untuk
makanan, seringkali dipengaruhi oleh emosinya (impuls buying). Sehingga
penataan (displai) barang yang menarik, seringkali membangkitkan emosi untuk
membeli, sekalipun pembelian ini tidak direncanakan ketika akan berangkat ke
pasar. Diakui bahwa terjadinya pembelian yang tidak terencana ini juga sangat
dipengaruhi oleh daya beli para pengunjung pasar sebagai konsumen. Semakin kuat
daya beli konsumen, maka kemungkinan terjadinya pembelian yang tidak terencana
sebelumnya semakin kuat. Oleh karenanya, para pedagang setidaknya sepintas
perlu memahami karakter dan kemampuan untuk membeli yang dimiliki oleh para
pengunjung pasar yang menjadi pelanggannya.
Para
pedagang terbiasa menyimpam/menimbun barang dagangan yang bersifat tahan lama
melebihi kemampuan menjual selama periode tertentu. Kebanyakan pedagang
cenderung banyak membeli (kulakan) barang dagangan tahan lama pada saat harga
murah dan persediaan berlimpah, kemudian disimpan entah sampai kapan. Kemudian,
mereka merasa kegiatan usahanya akan lebih aman apabila memiliki barang
dagangan dibanding memegang uang kontan, karena persediaan barang dagangan yang
berlimpah diperlukan untuk berjaga-jaga jika seandainya ada pembeli secara
tiba-tiba membutuhkannya dalam jumlah besar yang sebenarnya berdasar pengalaman
jarang terjadi. Di satu sisi hal ini mengakibatkan ada barang dagangan yang
menjadi kedaluwarsa akibat prinsip First in First out (FIFO) sulit dijalankan
karena penimbunan persediaan/stock barang yang peletakkannya sembarangan tidak
dilakukan secara sistematis berdasarkan periode pengadaan melainkan
ditumpuk-tumpuk seadanya. Di sisi lain, pasar menjadi tampak kumuh karena penuh
dengan tumpukan barang-barang milik pedagang sebagai persediaan barang
dagangan. Apabila peletakkan barang dilakukan dengan menumpuk-numpuk hingga
tinggi ke plafon, maka sirkulasi udara segar menjadi tidak lancar dan sinar
dari cahaya matahari atau lampu penerangan terhalang yang akibatnya los dan
lorong/gang pasar menjadi pengap (panas) dan gelap sehingga keadaan pasar
menjadi tidak nyaman. Kelemahan ini dapat diatasi dengan memberikan pengetahuan
tentang "merchandising" sederhana kepada para pedagang, sehingga mereka
mengetahui tentang periodesasi pengadaan dan penimbunan stock barang dagangan
(inventory) yang efisien dan ekonomis serta aman bagi kelancaran aktivitas
usaha. Di sini para pedagang perlu memahami kebiasaan para pelanggannya kapan
membeli dalam jumlah besar atau jumlah yang normal, dan berapa besarnya jumlah
pembelian. Selain itu, juga perlu memahami kapan waktunya sulit untuk
mendapatkan pasokan. Dengan memahami kondisi kebutuhan dan pasokan tersebut,
para pedagang dapat memperkirakan besarnya persediaan barang dagangan yang
harus disediakan berdasarkan periode penjualan. Persediaan barang dagangan ini
ekonomis, efisien dan aman bagi kelangsungan usaha.
Agar
para pedagang tradisional dapat memahami cara untuk mengatasi
kelemahan-kelamahan di muka, maka pihak pengelola pasar sebagai pembina perlu
mensosialisasikan pengetahuan tentang pemasaran dan merchandising sederhana
kepada para pedagang. Untuk itu, kepada pihak pengelola pasar harus terlebih
dahulu diberikan pengetahuan dimaksud terlebih dahulu, atau dapat juga
dilakukan dengan menggunakan jasa konsultan dari pihak ketiga, namun jangan
sepenuhnya dilakukan oleh pihak ketiga, karena dibatasi oleh kontrak kerja
dalam jangka waktu tertentu.
REVITALISASI
PASAR TRADISIONAL
Kebijakan
Pemeerintah dan Pemerintah Daerah dalam merevitalisasi pasar tradisional masih
lebih menekankan pada perbaikan (renovasi) phisik bangunan pasar. Masih sangat
jarang yang disertai dengan pembangunan kelembagaan (institutional building)
seperti mengembangkan organisasi (organizational development) pengelola dan
pembina pasar tradisional, termasuk di dalamnya pengembangan sistem manajemen
pasar beserta sumber daya manusia (SDM) yang terlibat serta pedagang pasar.
Berdasarkan
pengalaman empiris di banyak kabupaten dan kota, setelah dilakukan renovasi
atau pembangunan kembali bangunan pasar selama kurun waktu 3-5 tahun kemudian,
bangunan pasar yang telah direnovasi atau dibangun kembali beserta pengelolaan
pasarnya tampak kembali semrawut serta kondisi pasar kembali kumuh dan kotor
sama keadaannya seperti sebelum dilakukan renovasi atau pembangunan kembali
pasar. Terlebih lagi, setelah direnovasi atau pembangunan kembali bangunan
pasar, kegiatan perawatan atau pemeliharaan sangat minimal dilakukan dengan
alasan keterbatasan anggaran daerah. Hal ini terjadi karena kebijakan
revitalisasi pasar tradisional masih hanya sebatas menyentuh bangunan phisik
pasar semata yang seringkali kurang diikuti dengan aktiviast perawatan atau
pemeliharaan bangunan phisik pasar.
Mulai
tahun 2012, Kementerian Perdagangan memberikan bimbingan teknis kepada para
pedagang bersama para pengelola pasar tradisional tentang cara berjualan yang
baik, seperti mengupayakan dan memelihara kebersihan pasar, cara berdagang yang
baik dengan penataan barang dagangan yang menarik pembeli dan pengelolaan
pasar. Kegiatan ini masih difokuskan pada pasar-pasar tradisional yang telah
direvitalsasi pada tahun lalu, seperti Pasar Grabag di Kabupaten Purworejo,
Pasar Cokrokembang di Kabupaten Klaten dan Pasar Minulyo di Kabupaten Pacitan.
Selain
dibangun oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pembangunan bangunan pasar juga
dilakukan oleh pihak swasta, di mana pihak swasta bertindak sebagai pihak
pengembang yang berhak menjual kios-kios di lokasi tertentu, biasanya di bagian
bangunan pasar yang menghadap ke luar, baik di lantai dasar maupun di lantaui
atas apabila bangunan pasar tersebut merupakan pasar yang bertingkat. Sedangkan
pihak Pemerintah Daerah bertindak sebagai pengelola pasar yang bersangkutan
ketika telah selesai direnovasi. Namun di beberapa daerah, pihak swasta yang
bertindak sebagai pengembang juga diserahi untuk mengelola pasar setelah
selesai direnovasi dengan cara pengelolaan swasta yang biasanya lebih
profesional dibanding dengan pengelolaan oleh Pemerintah Daerah, sehingga
pasarnya tampak lebih rapi, bersih dan nyaman.
Pembangunan
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan pihak swasta
biasanya menghasilkan bangunan pasar yang lebih besar, bertingkat dan tampak megah.
Seringkali pada saat merencanakan bangunan pasar yang baru tidaklah terlalu
rinci mempertimbangkan jumlah pedagang yang akan berdagang dan jumlah pembeli
yang akan dilayani di pasar yang baru nanti. Pengembang berpandangan bahwa
apabila dibangun pasar yang lebih besar, lebih baik dan lebih megah, maka pasar
tersebut akan semakin ramai karena lebih banyak pengunjung atu pembeli.
Pengembang kurang memperhitungkan bahwa ada tempat berbelanja lain yang sudah
terlebih dahulu beroperasi yang menarik banyak pengunjung, Di sini pengembang
dan pengelola pasar harus menjadikan pasar tradisional yang baru tersebut lebih
menarik untuk dikunjungi dibanding dengan pasar lain termasuk pasar moderen
yang sudah terlebih dahalu ada.. Seringkali upaya ini gagal sehingga pasar
tradisional yang baru tersebut tampak kosong, sepi pengunjung dan sebagaian
dari para pedagang menutup kegiatan usahanya.
Permasalahan
revitalisasi sebenarnya muncul sejak awal pada saat penjualan kios atau lapak
bagi para calon pedagang yang baru. Penjualan kios oleh pihak pengembang
bersifat jual putus di mana pihak pengembang tidak lagi berwenang menentukan
jenis barang dagangan setelah kios tersebut dijual ke pedagang. Permasalahan
muncul ketika kios atau lapak yang sudah dibeli oleh pihak pertama dijual
kembali ke pedagang lain yang jenis dagangannya berbeda dengan barang dagangan
yang sudah ditentukan untuk zona di mana kios atau lapak tersebut berada.
Inilah yang menjadi salah satu sumber ketidaktertiban zonanisasi barang
dagangan di banyak pasar tradisional pada dewasa ini. Untuk mencegah terjadinya
hal ini, maka setiap peralihan hak milik kios atau lapak harus sepengetahuan
pihak pengelola pasar. Apabila jenis dagangan dari pedagang yang bertindak
sebagai pembeli kios atau lapak berbeda dengan jenis barang dagangan yang
ditetapkan untuk zona yang bersangkutan, maka perpindahan tangah sebaiknya
tidak diteruskan.
Di
banyak kabupaten dan kota, kepemilikan lapak atau kios pasar tradisional yang
telah direnovasi atau dibangun kembali oleh seseorang dapat lebih dari satu
lapak atau kios, sekalipun sebenarnya ia hanya membutuhkan satu lapak atau
kios. Sedangkan sisa lapak atau kios yang sudah dimiliknya disewakan atau
dijual kembali. Di sini pedagang tersebut seolah-olah bertindak sebagai
investor yang kebetulan memiliki dana berlebih dan atau memiliki hak istimewa
(privilige). Berdasarkan pengalaman empiris di lapangan, hal ini seringkali
menjadi salah satu penyebab banyaknya jumlah kios yang tidak beroperasi di
pasar-pasar tradisional yang telah selesai direnovasi atau dibangun kembali dan
mulai beroperasi kembali.
Sebagaian
dari pemilki kios baru kemungkinan sebelumnya adalah pemilik lapak di los pasar
atau pemilik warung di luar pasar (di rumah-rumah penduduk di sekitar pasar)
atau ex PKL di sekitar pasar. Bagi para ex PKL, perpindahan operasi ke lapak
pasar seringkali menimbulkan masalah pada pasar tradisional, terutama dalam hal
kebersihan pasar dan ketidakterarturan penataan barang dagangan. Mereka harus
menyesuaikan diri dengan peraturan tentang ketertiban dan kebersihan pasar.
Mereka harus mengikuti jam operasi pasar yang sudah ditentukan. Dalam
mendisplai barang dagangannya mereka harus mengikuti aturan tidak boleh
menjorok jauh ke depan, sehingga mengurangi lebar gang atau lorong tempat
pengunjung berjalan dan tidak boleh terlalu banyak menimbun barang dagangan
(stock) yang melebihi daya tampung lapaknya.
Sebaiknya,
untuk menhindari kegagalan program revitalisasi pasar tradisional, maka pada
saat peerencanaan pembangunan perlu dipikirkan kapasitas pasar yang akan
dibangun harus sesuai dengan jumlah pedagang yang sekarang ada, kemungkinan
penambahan jumlah pedagang yang sekarang ada, serta jumlah dan segmen konsumen
yang akan berbelanja di pasar tersebut. Seringkali dijumpai banyak keluhan dari
pedagang yang sudah berdagang sejak di psar lama, ketika berpindah ke pasar
yang sudah direnovasi ukuran kios dan lapak yang diperolehnya menjadi berkurang
atau lebih kecil dengan alasan bahwa banyak pedagang baru yang harus ditampung.
Kondisi ini menjadi alasan para pedagang untuk menata barang dagangannya
melonjak ke luar lapak atau kios melonjak dari batas yang diperkenankan.
Akibatnya gang/lorong di los-los pasar menjadi sempit dan tidak nyaman untuk
para pembeli berlalu lalang di pasar.
Selanjutnya,
juga perlu dipikirkan persiapan calon pengelola pasar (manajemen pasar) yang
akan ditugasi mengelola pasar yang baru. Sebaiknya kepada mereka sejak awal
diberikan pelatihan tentang manajemen pasar dan diwajibkan menyusun sendiri
serangkaian prosedur kerja dan pengawasan pekerjaan di bawah bimbingan pihak
yang berkompeten dalam manajemen pasar. Pelatihan dan penyusunan prosedur kerja
dan pengawasan pekerjaan ini dilakukan pada saat aktivitas renovasi atau
pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung. Pengetahuan yang telah
diperoleh serta prosedur kerj dan pengawasan pekerjaan yang telah dibuat,
hendaknya dipratikan di lingkungan pasar di penempatan sementara selama
bangunan pasar sedang direnovasi atau dibangun kembali, agar mereka terbiasa
bekerja dengan menggunakan sistem.
Kepada
para pedagang yang mendiami lokasi pasar sementara, diperkenalkan pengetahuan
sederhana tentang perdagangan eceran mencakup merchandising seperti
merencanakan pembelian (kulakan) barang dan persedian (merencanakan stock),
sortasi dan pengemasan, penataan dan penyimpanan barang secara sistematis
sesuai dengan prinsip FIFO serta pengetahuan tentang manajemen keuangan
sederhana. Sama halnya dengan pelatihan bagi calon pengelola pasar, kegiatan
bagi para pedagang tersebut juga dilakukan pada saat renovasi atau pembangunan
pasar yang baru sedang berlangsung.
Selanjutnya,
sejak awal kepada para pedagang juga diperkenalkan tentang penanganan
kebersihan yaitu setiap pedagang diwajibkan memiliki tempat sampah sementara di
lapak atau kiosnya masing-masing, bisa berbentuk kantung plastik atau tempat
sampah dari plastik yang sedapat mungkin sudah memisahkan sampah organik dan
anorganik. Setiap kantung sampah tersebut penuh dibuang ke tempat sampah yang
terletak di gang atau lorong dekat lapak atau kiosnya. Tujuan untuk memisahkan
sampah organik dan anorganik adalah untuk persiapan apabila sampah-sampah
tersebut diolah menjadi kompos yang ini harus sudah dipikirkan sejak jauh-jauh
hari. Selain itu, pedagang juga diwajibkan untuk bertanggung jawab terhadap
kebersihan di lokasi sekitar setiap lapak atau kiosnya. Kepada setiap pedagang
diajarkan untuk mematuhi batas tempat yang diijinkan berjualan sehingga tidak
mengurangi lebar gang di losnya masing-masing. Dengan melibatkan pedagang dalam
hal kebersihan dan ketertiban pasar, maka beban pihak pengelola pasar menjadi
lebih ringan. Apabila kebiasaan-kebiasaan seperti ini sudah ditanamkan sejak
dini, khususnya pada pasar yang sedang direnovasi atau dibangun kembali, maka
diharapkan kebiasaan-kebiasaan ini akan terus berlanjut di pasar yang baru.
Pada
saat pasar yang baru akan mulai beroperasi, masalah yang terpelik adalah
pembagian lapak dan kios. Di sini perlu dilibatkan calon pengelola pasar yang
baru, karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa para pengelola pasar merasa
tidak tahu menahu tentang pembagian lapak atau kios pada saat pasar yang baru
akan mulai beroperasi. Para pengelola pasar yang baru pada umumnya hanya
ditugasi menjalankan pengelolaan pasar, sehingga ketika pasar yang baru sudah
berjalan kemudian terjadi ketidakdisiplinan zonanisasi pedagang, pihak
pengelola cenderung membiarkan atau tidak mau bertanggung jawab, karena merasa
tidak dilibatkan awal pembentukan zona pedagang berdasarkan jenis barang
dagangan. Padahal ketidaktertiban zonanisasi pedagang merupakan titik awal
mulai terjadinya kesemerawutan pasar tradisional.
MANAJEMEN
PASAR TRADISIONAL
Keterbatasan
kemampuan manajerial pengelola pasar tradisional mempengaruhi kondisi pasar
yang bersangkutan, bahkan hal ini menjadi salah satu penyebab utama melekatnya
stigma negatif yang kini melekat di pasar-pasar tradisional pada umumnya.
Berdasarkan pengalaman empiris di 30 Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah,
pasar-pasar tradisional yang memiliki tingkat kebersihan, keamanan dan
kenyamanan yang tinggi biasanya memiliki Tim Pengelola Pasar dengan organisasi
yang berstruktur lengkap dengan pedoman kerja jelas dan cukup rinci. Selain itu
pengelola pasar tersebut juga secara intensif dibina dan disupervisi oleh SKPD
yang membidangi pasar tradisional dan pedagang (pedagang pasar dan PKL), dengan
perkataan lain pasar tradisional tidak semata difungsikan sebagai
pengkontribusi PAD.
Seringkali
Kepala Pasar memiliki keterbatasan wewenang (otoritas) dalam mengelola pasar
tradisonal yakni menghadapi petugas-petugas yang berada di bawah kendali SKPD
lain di luar SKPD yang mebidangi pasar dan pedagang, seperti petugas-petugas
yang menangani perparkiran, kebersihan dan pertamanan, pembangunan dan
perawatan sarana dan prasarana (bangunan, fasilitas air bersih, listrik,
pengolahan sampah dan air limbah), dan juga terkadang yang menangani ketertiban
PKL. Di sini peran SKPD pembina sangat diperlukan untuk berkoordinasi dengan
SKPD lain yang terkait.
Bentuk
organisasi pengelola pasar juga seringkali menentukan efektivitas pengelolaan
pasar tradisional. Di beberapa kabupaten/kota bentuk organisasi pengelola
adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang membawahi lebih dari satu pasar
( tiga atau empat pasar). Seringkali kemampuan manajerial Kepala UPTD tidak seimbang
dengan jumlah pasar yang harus dikelolanya, sehingga terkesan pasar-pasar
tersebut sebatas sebagai unit sumber PAD.
Di
beberapa kota, organisasi pengelola pasar tradisional berbentuk Perusahaan
Daerah (PERUSDA) seperti di DKI Jakarta, Surabaya dan Bogor. PERUSDA biasanya
memiliki kemampuan manajemen yang lebih baik dibanding pihak-pihak penngelola
pasar ttradisional di bawah SKPD yang membidangi pasar. Namun tampaknya
kemampuan dalam membina para pedangan di pasar-pasar tersebut masih lemah,
sehingga ciri kekumuhan pasar-pasar tradisional di bawah PERUSDA masih
terlihat.
PENUTUP
Pembinaan
pasar tradisional memerlukan upaya terintegrasi, mulai di tingkat kebijakan
hingga di tingkat operasional. Setiap tingkat memerlukan bentuk-bentuk
pembinaan yang saling terkait satu bidang dengan bidang lain. Sebagai contoh,
pembinaan pasar tradsional beserta pedagang pasar dan PKL di tingkat
operasional merupakan kelanjutan dari kebijakan Pemerintah Daerah yang tertuang
dalam Peraturan Daerah (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya. Pembinaan di
tingkat operasional diwujudkan dalam bentuk pembinaan manajemen pasar
tradisional dan pedagang pasar serta pembinaan PKL dan lingkungannya,
ketertiban perparkiran, penataan jalur angkutan kota, penataan tempat pejalan
kaki (pedesterian), dan kawasan wisata kuliner. Keterkaitan dengan
bidang-bidang lain inilah yang seringkali kurang diperhatikan, sehingga
penanganan masalah bersifat parsial, hasilnya kurang maksimal karena kurang
dapat menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.
Mengingat
kondisi pasar tradisional yang seperti ini sudah berlangsung sejak lama, maka
perlu kebijakan dan tindakan yang konsisten serta berkesinambungan yang tidak
bisa mengharapkan hasilnya segera tampak. Perbaikan yang harus dilakukan harus
menyentuh perubahan perilaku masyarakat (aparatur dan petugas serta pedagang
dan pengunjung pasar) yang ini memerlukan banyak contoh yang dapat dimulai
dengan bentuk-bentuk pilot project.
Berdasarkan
pengalaman empiris di banyak daerah, keberhasilan pembinaan pasar dan pedagang
pasar tradisonal sangat ditentukan oleh kepedulian para Kepala Daerah (Bupati
dan Walikota) yang diikuti oleh para pejabat di tingkat teknis. Pengalaman
empiris menunjukkan bahwa kebijakan Kepala Daerah yang menetapkan pasar sebagai
salah satu sumber PAD tanpa diikuti dengan pengembalian pendapatan ke pasar
secara signifikan sebagai tambahan biaya operasional dan perawatan/pemeliharaan
serta biaya pembinaan bagi pengelola dan pedagang pasar, maka hal ini menjadi
penyebab utama kondisi pasar-pasar tradisional memiliki ber-stigma negatif
seperti kumuh, semrawut, kotor, dan tidak nyaman dikunjungi oleh masyarakat
konsumen.
Sumber:
Anita Hidayanti. Masalah Pasar
Tradisional. (artikel). Dalam http://anitahidayantii.blogspot.com/2014/06/masalah-pasar-tradisional-indonesia.html
0 Komentar