DESAKU, TAK LAGI SEPERTI DULU



Ini cerita tentang desaku, kini dan dahulu. Banyak perubahan, banyak perkembangan, banyak juga Gadis cantik nan menawan hehe.

Pakis, sebuah desa kecil dengan keindahan yang luar biasa . Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan lewat tulisan ini. Desaku, tak lagi seperti dulu.

Aku bersyukur lahir dan besar di sini.  Terutama karena alamnya yang begitu menyenangkan juga menenangkan. Tanahnya subur, wajar saja hampir sebagian besar warganya memilih untuk menjadi pemulia padi. Aku masih ingat kala masa kecilku dulu, bermain bersama teman teman ke sawah untuk mencari juwet atau 'anggur jawa' kalian menyebutnya. Banyak dari para petani menanami lahannya dengan berbagai tanaman pangan, padi, jagung, ketela, buah pun juga ada, banyak, sesuai musimnya masing masing tentunya. Tak hanya itu, ada tanaman khas yang dari ujung desa hingga di sela sela rumah warga bisa ditemukan, yaitu kelapa dan pisang. Oiya, posisi desaku ditengah ketinggian gunung buthak, tanahnya bagus untuk maksimal dimanfaatkan. Tapi sayang, keasriannya tidak bisa di peluk hingga sekarang. Beberapa tahun terakhir tumbuhan besar di atas gunung hilang, bukan tanpa sebab mereka lenyap, ini semua karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.
Tidak bisa saling menyalahkan, karena tanah adalah tempat tinggal yang seharusnya bersama sama kita lestarikan. Manusia semakin memadati sudut bumi di desaku, tanah yang dulu rimbun akan pepohonan, kini berjajar atap tinggi menjulang. Aku tidak tahu, apakah ini memang kebutuhan atau hanya sekedar keinginan.

Namun Keadaan tanah juga tidak lepas dari keberadaan air sebagai satu pokok penting tetap berjalannya kehidupan. Kuingat dulu, air begitu melimpah. Di depan sekolah dasarku mengalir mata air dari gunung begitu deras setiap harinya. Terkadang aku melihat beberapa anak memancing ikan disana. Pun Sawah yang tak pernah mengeluh tentang keringnya musim kemarau. Lain dengan sekarang, jangankan ikan, kakiku tidak akan basah jika harus turun ke aliran sungai kecil itu. Lebih sakit lagi saat harus dengan rela menerima hujan yang enggan meneteskan airnya, padi ayahku sering kekeringan, daunnya layu bahkan mati tak sempat berbuah. Ada yang sangat ku syukuri yaitu tuhan masih berbaik hati mengalirkan mata air utama di desaku, yang walau sesekali habis tapi tak pernah membiarkan kami kepayahan mencari kesana kemari.

Di dekat sumber air utama itu ada tiga pohon besar, sangat rindang, sangat indah saat daunnya menguning lalu berguguran. Sepertinya pohon ini yang membantu menjaga udara di desaku tetap bersih dan  menyerap polusi polusi yang mengudara. Tak banyak yang berubah dari udara di desaku, masih sejuk, oksigen masih kaya raya dan menumpuk.

Dari jauh terdengar suara suara bersautan, ternyata kambing yang meminta jatah makan. Disini hewan hewan memang masih banyak di pelihara. Sapi, kambing, ayam adalah komoditas utama. Sapi sang penggarap sawah dianggap harta paling berharga pagi para pemulia padi, selain nilainya yang mahal, tenaganya pun dimanfaatkan dengan maksimal membantu menggerakkan roda perpanganan. Dan hewan hewan itu masih menjadi primadona hingga sekarang.

‌Bagi kalian yang mungkin belum pernah berkunjung kedesaku, yang kalian pikirkan mungkin adalah bagaimana akses menuju desaku, bagaimana bisa menjangkau tempat dengan lokasi seperti ini. Ketahuilah, jalan yang mungkin suatu saat kalian lalui dengan begitu banyak lubang dan berliku liku belum ada apanya jika dibandingkan dengan saat kecilku dulu. Bukan berlubang lagi, hampir putus. Miris memang. Saat aku sudah sebesar ini aku pernah menggerutu namun diam dalam hati, apa hanya karena daerah kami jauh dari kota lalu fasilitas pun ikut tidak tertata? Penerangan jalan hingga saat ini adalah penerangan seadanya dari para warga. Namun hanya di dalam lingkup pedesaan, tidak pada jalan sebelum memasuki desa. Bersebelahan dengan jurang, tetapi tetap tak ada lampu terang pengantar perjalanan, keadaan ini sudah berjalan dari dulu hingga sekarang.

‌Beralih ke bidang pendidikan. Disini mengaji adalah hal penting dan terjaga keberadaannya. Beberapa tempat pembelajaran keagamaan dibuka disini disebut madrasah. Disini madrasah dianggap penting, dari dulu hingga kini masyarakat disini selalu memberikan pendidikan madrasah kepada anaknya. Satu lagi, sehabis magrib akan selalu terdengar indah doa sebelum mengaji yang di syairkan berkumandang di setiap mushola. Satu hal yang kusukai, mengaji masih tetap lestari.

‌Disamping itu, Sekolah umum berjalan seperti biasa, Sekolah dasar di desa sendiri, baru setelah itu berlanjut ke pendidikan selanjutnya. Ada yang ke SMP, ke pondok, atau berhenti hanya sebatas Sekolah dasar. Dulu banyak yang mengakhiri pendidikan hanya sebatas SD kata ibuku. Apalagi perempuan, dianggap tidak berguna sekolah tinggi karna akhirnya akan berujung menjadi tata boga saat menikah kelak. Bersyukur kini sekolah sudah dianggap penting, yang dulu hanya sebatas sekolah dasar kini banyak yang Sampai pada perguruan tinggi dan mereka menjadi besar.

‌Tak lupa, tentang kosmetik dan gaya busana. Aku masih ingat betul, kala kecilku dahulu. Identitas yang sangat nyata terlihat dari pakaian yang warga desaku kenakan. Kebaya kuno dan kain jarik yang khas pedesaan. Polesan wajahpun minim mereka gunakan. Hanya bedak dari tumbukan beras yang di campur tumbuh-tumbuhan. Racikan ini dapat melindungi kulit dan bisa menjaga keremajaan katanya. Berbeda jauh dengan jaman sekarang dimana riasan wajah sudah dianggap kebutuhan. Wajah putih berseri, bibir merah merayu. Busana pun sudah berkembang dan banyak perubahan. Tapih jarik sudah mulai di tinggalkan, berganti dengan pakaian pakaian yang mengikuti trend di pasaran.
‌Sesuai dengan keadaan alamnya, masyarakat desaku mengorientasikan mata pencahariannya pada sektor pertanian, alamku di berkahi tanah yang subur. Bidang pertanian mulai nampak kemajuan dilihat dari alat yang digunakan, garu dan sapi mulai terganti dengan traktor yang lebih canggih dan pastinya sangat membantu para petani.

‌Di rumah ibu pun terbantu atas globalisasi di lini paling mikro, di rumah tangga. Alat masak berkembang pesat dari tungku kayu beralih ke rice cooker dan kompor gas yang lebih praktis di gunakan. Tak perlu bersusah payah mencari ranting pohon, hanya perlu daya listrik dan  'klik', beberapa menit kemudian nasi sudah bisa di hidangkan.

‌Teknologi lain yang sudah merubah desaku adalah Telekomunikasi dan juga transportasi. Meski jauh dari kota, komunikasi sudah bisa di jangkau dengan mudah melalui telepon seluler yang kini hampir semua orang punya. Dahulu jika ingin berkabar harus mengangkat kaki melangkah menuju tempat orang tersebut. Kini dunia seakan sudah ada dalam genggaman. Kalaupun harus bertatap muka, semua mudah bisa di tempuh dengan berkendara sepeda. Jarak tak lagi jadi masalah, segalanya sudah dipermudah.

‌Arsitektur rumah ikut terpengaruh dari dampak perubahan. Kala itu hampir semua rumah berdinding kayu dan beratap genting merah, hanya mereka kalangan menengah keatas yang bisa membangun tempat tinggalnya dengan tembok yang kokoh dan keras. Bentuk bangunannya pun dari yang limasan, rong pyak, patang pyak, sampai joglo, kini mulai di tinggalkan. Para warga lebih memilih mendirikan rumahnya mengikuti bentuk minimalis seperti gambar yang mereka lihat di layar handphone.

‌Bagi warga disini, hiburan cukup jarang di temui. Dan yang menjadi khas adalah tradisi 'nanggap ketoprak' sehabis panen raya berakhir. Tradisi tersebut tak lekang oleh waktu, hingga hari inipun masih tetap berlaku. Namun sekarang mulai ada yang baru dari segi hiburan, salah satu organisasi di desaku, menyuguhkan perlombaan yang juga sebagai bahan tontonan. Diakhir agustus ada pertunjukan antar RT menyajikan tarian tarian sederhana. Tidak begitu mewah dan besar memang, namun aku tetap suka, hal kecil ini serasa lebih menghangatkan satu dengan lainnya. Namun sangat di sayangkan, setiap kali ada hiburan disitu juga sampah bertebaran.

‌Namun saat ini perputaran sampah sudah mulai terkendali. Yang dulu kotoran hewan ternak dan sampah rumah tangga di buang di kali, kini kian hari kian membaik dan warga mulai sadar diri. Semua hal memang akan dan sebagian yang lain harus melalui perubahan. Tak apa jika desaku harus berubah, yang kudoakan tak ada kearifan lokal yang harus berat hati hilang dan punah. Terimakasih semesta, membiarkanku hidup di bagian bumi paling indah.

Penulis:
Sita vaistiana
12 IPS 4

0 Komentar